Namaku
Renagna Gafilonada, atau sering dipanggil Agna. Saat ini aku adalah mahasiswi
semester 3. Kemarin, saat aku sedang melamun, aku teringat tentang seseorang.
Namanya Ataldi Haggany, atau sering dipanggil Aldi. Dia bukan orang yang
spesial dalam hidupku. Namun setiap aku teringat tentang kami berdua, aku
tersenyum dengan sendirinya.
Aku
mengetahui Aldi saat aku duduk di bangku kelas 2 SD. Aku disekolahkan di salah
satu sekolah swasta di kotaku. Waktu itu pamanku yang saat itu masih lajang,
sedang mencari kerja. Entah karena ditawari oleh ibuku atau bukan, akhirnya
paman bekerja sebagai supir antarjemput siswa di sekolahku. Ya, seperti yang
aku katakan tadi, saat itu aku duduk di kelas 2. Di sekolah tersebut, siswa
kelas 2 masuk pukul 9 pagi. Karena tidak ada yang mengantarkanku ke sekolah,
akhirnya aku dititipkan pada pamanku.
Setiap
penjemputan, aku lah siswa yang selalu dijemput pertama oleh pamanku. Maka
otomatis aku menempati kursi paling depan. Setelah itu pamanku menuju ke rumah
siswa selanjutnya, letaknya sekitar 7 kilometer dari rumahku. Pertama kali
penjemputan, paman sempat kebingungan, tersasar kesana-kesini. Maklum, karena
begitu banyak gang kecil di daerah tersebut.
Akhrinya
kami pun sampai di depan rumahnya. Rumahnya, bisa dibilang kecil. Begitu pula
dengan halamannya. Di halaman yang tidak luas tersebut, terdapat seorang ibu
yang sedang menyiram tanaman. Dari dalam rumah, keluar lah dua anak kecil.
Keduanya perempuan. Aku mengiranya kedua anak tersebut adalah adik dari siswa
yang sedang kutunggu, dan ibu yang menyiram tanaman adalah ibunya.
Tak
lama kemudian, keluar lah siswa yang kami tunggu. Ternyata dia adalah seorang
laki-laki. Kulihat dia. Hanya dengan pandangan biasa. Tak ada yang spesial. Tak
ada ekspresi apapun yang keluar dari mukaku. Tapi siapa yang menyangka, bahwa
ternyata anak laki-laki tersebut lah yang kini mampu membuatku tersenyum setiap
aku mengingatnya. Ya, anak laki-laki tersebut adalah Ataldi Haggany.
Dari
situ aku mengetahuinya. Sekedar mengetahui, belum mengenalnya. Aku bahkan baru
mengetahui bahwa dia sekolah di sekolah yang sama denganku. Setiap harinya aku
dan dia berangkat ke sekolah bersama. Namun tak ada percakapan apapun di antara
kami.
Hingga
akhirnya kami berdua naik kelas tiga. Aku satu kelas dengannya. Disinilah aku
mengenalnya, dan dia mengenalku. Sejauh ini, tak ada yang spesial bagiku.
Hingga akhirnya tiba pada suatu hari. Di hari tersebut, aku iseng mengintip
kelas sebelah. Dari luar kelas, aku mengikuti gerakan yang dipandu oleh
gurunya. Tiba-tiba dari arah kiri ada anak yang memanggilku “Mumun!!”. Aku pun
terkaget, dan baru menyadari bahwa gerakan yang aku ikuti tadi menyerupai gaya
pocong. Aku langsung mengejar anak yang mengejekku tadi. Yang ternyata adalah
Ataldi Haggany.
Sejak
saat itu aku dan Aldi saling berkejaran. Wajarnya anak SD yang saling
berkejaran, akhirnya timbul rasa saling suka. Namun yang berbeda dalam kisah
ini, bukan rasa saling suka yang timbul, melainkan cinta yang bertepuk sebelah
tangan. Dan disini, aku lah yang memiliki rasa suka. Sungguh menyedihkan.
Begitu
cepat gosip tersebut tersebar ke semua anak kelas tiga. Rasanya aku ingin
cepat-cepat naik kelas, dan tidak satu kelas dengannya. Karena hanya rasa malu,
gerogi, jaim dan gengsi bila aku satu kelas dengannya.
Suatu
hari aku sedang berjalan mengelilingi kompleksku. Kulihat ada rumah yang sedang
dalam proses pembangunan. Jaraknya enam rumah dari rumahku. Cukup dekat.
Kemudian aku bertanya pada salah satu tukang, “Rumah siapa itu pak?”.
Disebutkannya nama pemilik rumah tersebut, dan diberitahukan pula bahwa pemilik
rumah itu memiliki tiga anak, yang pertama laki-laki dan dua lainnya perempuan.
Kebetulan pula di sana ada anak perempuan yang tidak asing bagiku. Aku
bercakap-cakap sebentar dengannya. Dan dari dia aku menjadi tahu bahwa anak
pertama laki-laki yang dimaksud tukang tadi tidak lain dan tidak bukan adalah
teman SD ku sendiri. Teman yang selama kelas tiga ini selalu mengejekku, dan
akhirnya membuatku suka dengannya. Ya, dialah Aldi.
Esoknya
di kelas, aku bertanya pada Aldi kebenaran tentang rumah barunya tersebut. Dia
membenarkannya. Kami berdua pun menjadi bertetangga. Belum lama dia menempati
rumah barunya, gosip mengenai aku yang suka dengannya sudah menyebar satu
kompleks. Ternyata dia menceritakan pada anak-anak di kompleksku bahwa aku suka
dengannya. Malu bukan main, karena akhirnya para orang tua di kompleks pun juga
mengetahuinya.
Di
kelas empat dan lima, aku dan Aldi tidak satu kelas. Kelas enam semester satu
pun juga begitu. Namun karena adanya rolling kelas pada semester dua, aku dan
Aldi pun akhirnya satu kelas. Satu kelas kembali. Setelah dua setengah tahun
lamanya terpisah.
Lulus
dari SD, aku memilih untuk melanjutkan sekolah di salah satu sekolah negeri di
kotaku. Tak kusangka, Aldi pun juga sekolah di SMP ku. Di kelas tujuh, aku
mendapat kelas 7-H, dan Aldi kelas 7-B. Namun karena ada rolling kelas di
semester duanya, Aldi menjadi kelas 7-H. Ya, itu kelasku, 7-H. Tetapi ternyata
aku juga berpindah kelas, menjadi kelas 7-B. Jadi jika dipikir-pikir, kelas
kami berkebalikan. Andai salah satu di antara kami tidak berganti kelas, maka
kami berdua akan satu kelas. Satu kelas kembali.
Kelas
delapan dan sembilan, aku tidak satu kelas dengannya. Lulus SMP, aku memilih
untuk sekolah di salah satu sekolah negeri ternama di kotaku. Tes masuk SMA
tersebut bisa dikatakan cukup sulit. Namun ternyata, di malam pengumuman aku
melihat namaku dalam daftar siswa yang diterima. Oh tunggu, tak hanya namaku
yang kulihat di daftar itu. Tapi namanya juga aku lihat. Nama dia. Ataldi
Haggany.
Ya,
hari-hari awal masuk sekolah di SMA tersebut, diam-diam aku mencari batang
hidung seorang Aldi. Namun hasilnya nihil. Ternyata dia diterima di salah satu
sekolah semi-militer di Indonesia, dan melepas SMA ku. Kalau aku boleh
berandai, andai dia tidak mendaftar, atau tidak diterima di sekolah
semi-militernya tersebut, maka kami berdua akan berada dalam satu sekolah lagi.
Ya, lagi.
Kelas
sebelas, atau lebih tepatnya tahun 2011, aku bersama teman-teman mengadakan
sebuah lomba tingkat provinsi. Tak terpikirkan olehku, bahwa lomba tersebut
yang akhirnya kembali mempertemukanku dengan seseorang. Ataldi Haggany.
Namun
yang namanya lomba, tidak akan berlangsung lama. Begitu pula dengan pertemuanku
dengan Ataldi Haggany. Setelah lomba itu, kami berdua tidak bertemu kembali.
Lulus
SMA, aku memilih untuk melanjutkan kuliah di salah satu Universitas negeri di
kotaku. Melalui jalur ujian tulis, aku diterima di universitas tersebut. Saat
daftar ulang, aku diminta mencari namaku dalam berlembar-lembar kertas dan
menandatanganinya. Belum aku buka halaman kedua dari lembaran kertas tersebut,
aku terhenti pada satu nama. Nama yang benar-benar membuatku kaget. Nama yang
membuatku terdiam, hingga mengabaikan untuk mencari namaku. Nama itu, Ataldy
Haggany.
Tak ada
kabar, tak ada wacana bahwa dia akan mendaftar di universitas yang sama
denganku. Di fakultas yang sama dengan fakultasku. Dan di jurusan yang sama
dengan jurusanku. Menurut lembaran kertas yang kupegang tadi, Aldi diterima
melalui jalur ujian mandiri. Walaupun jalur yang kami lalui berbeda, tapi
akhirnya kami berdua diterima dalam satu jurusan.
Hari
Selasa, hari pertama ospek atau pengenalan, diam-diam aku mencari batang hidung
seorang Aldi. Kembali. Tak kusangka, aku lakukan kembali hal yang dulu pernah
aku lakukan di hari pertama SMA. Di hari pertama ospek itu aku melihatnya. Ha,
hatiku tertawa dan aku pun tersenyum. Hari berikutnya, aku tidak menemukannya.
Malamnya, aku dan beberapa teman mengunjungi rumahnya. Satu langkah lagi
menginjak pekarangannya, pintu rumah tiba-tiba terbuka. Keluarlah seorang
laki-laki tinggi sambil membawa koper. Ya, itu Aldi.
Firasatku
tidak enak saat melihat koper yang dia bawa. Kemudian aku menyapanya dan
menanyai alasan ketidak-hadirannya di kampus hari itu. Dia pun menjawab. Dan
ternyata firasatku benar. Aldi melepas studinya di universitasku. Dia diterima
di salah satu akademi penerbangan di Indonesia.
Aku
berpamit padanya. Memasang wajah yang santai, namun dengan hati yang
berkecamuk. Aku berandai. Berandai kembali. Andai, Aldi tidak mendaftar, atau
tidak diterima di akademi penerbangan tersebut, maka aku dan Aldi akan kuliah
di universitas yang sama, fakultas yang sama, dan jurusan yang sama. Hingga
saat ini, hingga penulisan ini, aku belum bertemu dengannya. Walaupun kami
adalah tetangga.
Yang
membuatku tersenyum, adalah kenyataan dimana aku dan Aldi selalu hampir
bersama. Hampir. Hanya sebatas hampir.
Anggaina
Elfandora C.