Thursday, February 26, 2015

2010, Awal dari Perjalanannya



Hidupku terasa sama saja. Setidaknya hingga tahun 2010.

2010. Masih kuingat jelas bagaimana sikapnya saat mengetahui bahwa ia lolos seleksi memasuki perguruan tinggi negeri, tak main-main yang didapatnya: FTI ITB. Namun perasaan bimbang sempat menyelimutinya. Bagaimana tidak? Seleksi di tahun 2010 tersebut tak lebih dari sebuah ajang coba-coba baginya, karena saat itu ia sudah resmi menjadi mahasiswa Teknik Kimia Undip selama satu tahun. Teman, sahabat, serta satu tahun perjalanan kuliahnya menjadi beberapa faktor yang membuatnya enggan untuk berpindah dari kampus tersebut. Selama beberapa hari ia mencoba untuk berfikir mana pilihan yang harus ia ambil. Tinggalkan yang lama? Sayang sepertinya perjuangannya selama satu tahun di Undip, seakan hanya sia-sia belaka jerih payahnya satu tahun tersebut. Lupakan yang baru? Agaknya sayang jika membuang kesempatan indah untuk berguru di Institut Teknologi Bandung.

Dalam hari dan doaku, mulutku senantiasa mengucap syukur karena telah memberinya kesempatan tersebut, dan ikut menyemangatinya agar mengambil kesempatan itu. Namun ternyata tidak dengan batinku. Terisak dalam batin, dengan lirih hati kecilku berkata, “Tolong jangan pergi jauh, mbak…”.

Ia pun telah mengambil keputusan: mengambil kesempatan tersebut. Segala berkas yang dibutuhkan untuk pendaftaran ulang segera diurus olehnya. Persiapan-persiapan lain seperti tiket kereta, penginapan, serta oleh-oleh tak lupa dipikirkan pula oleh kedua orang tuaku. Hingga saatnya tiba hari pemberangkatan itu. Tepat ba’da Isya, dia bersama orang tua kami berangkat menuju stasiun, meninggalkanku sendiri yang sibuk menyeka air di pipi. Sekitar setengah jam kemudian, aku mendapat telfon dari orang tua. Mereka memintaku untuk mencari kunci almari pakaian di dalam kamar, untuk kemudian mengambil sesuatu. Sesuatu yang sangat berharga untuk malam itu, bagi mereka yang sedang dalam perjalanan menuju stasiun. Tiket kereta api.

Aku kemudian bergerak cepat membuka pintu kamar orang tuaku, mencari kunci almari yang dimaksud. Namun di tengah kepanikanku tiba-tiba aku tersenyum. Agaknya aku senang dengan kejadian ini. Sempat aku berfikir mantap, bahwa ini adalah pertanda untuknya agar tidak pergi ke Bandung. Lalu sedikit kuperlambat pencariannya – dengan sikap yang kurang serius.
Namun tetaplah ia pergi ke Bandung malam itu. Segera setelah tiket ditemukan, pamanku melaju kencang menuju stasiun, sedangkan papa mencoba melobby pihak stasiun untuk menunda keberangkatan kereta api, barang semenit dua menit.

Itulah sebuah awal dari perjalanannya. Dan sebuah awal untuk tangisanku hingga hari ini.

Pertengahan tahun 2010 itu aku resmi menjadi siswa kelas sebelas di SMA 3 Semarang. Masih hangat-hangatnya kepergiannya ke kota kembang membuat teman-teman baruku harus sering menghiburku untuk tidak menangis. Ada salah satu di antara temanku berkata bahwa dia (temanku) juga pernah mengalami hal yang sama ketika ditinggal oleh papanya. Temanku tersebut menambahkan dengan yakin, bahwa beberapa minggu kemudian aku akan terbiasa dengan perantauannya dan tak perlu susah-susah mengeluarkan air mata lagi. Namun sepertinya pernyataan temanku tersebut tidak berlaku bagiku. Karena air masih menderai dengan derasnya dari mataku, hingga detik ini.

Tidak terlalu kuingat berapa bulan sekali – atau bahkan berapa minggu sekali – dia pulang ke Semarang. Yang jelas kuingat adalah setiap kedatangannya, kami selalu saling bercerita banyak hal, mulai dari pembicaraan serius hingga yang sangat ringan atau bahkan tidak penting. Dan di setiap kepergiannya kembali menuju Bandung, air mataku mulai menilik untuk kemudian menetes hingga akhirnya deras. Hingga detik ini? Tentu.

Tahun 2011 aku sempat menginap disana, di kamar kosnya. Walaupun 2/3 waktuku hanya dihabiskan di dalam kamarnya dengan bertemankan DVD film, setidaknya 1/3 sisanya dapat kuhabiskan dengan berbelanja di beberapa tempat dengannya serta mengunjungi kampusnya.

Tahun 2012 adalah tahun dimana aku harus lebih giat dalam belajar. Di tahun tersebut aku akan menjalani ujian nasional serta ujian SNMPTN. Targetku tidak lain adalah untuk berkuliah di kampusnya di kota kembang. Menjadi suatu kebanggaan jika dapat berkuliah di kampus ternama tersebut. Tapi tujuan utamaku bukan itu, melainkan agar dapat bertemu dan bersama dengannya lagi. Masih kuingat bagaimana sms nya kepadaku untuk menyemangatiku, untuk mendoakanku, dan untuk mengingatkanku agar selalu ingat pada-Nya. Masih kuingat pula bagaimana kuatnya motivasi utama tadi mendorong belajarku. Mulai dari pikiran kecil seperti kamar kos yang akan kutempati. Berfikir bahwa aku akan satu kamar dengannya, bahwa aku tak perlu repot-repot merapikan kamar jika satu kamar dengannya, bahwa aku akan berlatih memanage uang dengannya, bahwa, bahwa, dan bahwa lainnya.

Hingga akhirnya tiba saat pengumuman seleksi SNMPTN: aku diterima untuk pilihan kedua, di Teknik Industri Undip. Tak peduli aku dapat lolos pilihan pertama dalam tryout SNMPTN, tetap tidak mengubah kenyataan bahwa aku adalah mahasiswa TI Undip. Kata-kata semangat serta ucapan selamat yang diberikan olehnya agaknya tidak terlalu berhasil membuatku terhibur.

Tahun berganti tahun. 2012, 2013, 2014. Semakin dapat kulihat perbedaan antara lingkungan kampusnya, dan lingkungan kampusku. Sedih masih menyelimutiku.

Tidak diterimanya aku di kampusnya berartikan bahwa aku akan jarang bertemu dengannya, seperti pada tahun 2010 dan 2011. Hanya bertemu sesekali, saat dia pulang untuk kontrol behel, atau saat hari besar dan beberapa tanggal merah. Itu berarti waktuku untuk bersama dengannya hanya sedikit, sebelum dia menikah nantinya.

Hampir di setiap detik di 1994 hingga 2010, aku dan dia selalu menghabiskan waktu bersama. Berangkat ke sekolah – waktu itu aku TK besar, dan dia kelas dua SD – bersama dengan tante menaiki angkutan umum mengejar jam masuk kami pukul 09.00. Satu tahun kemudian, aku dan dia mulai berangkat bersama dengan mama, cenglu menaiki sepeda motor di setiap pagi pukul 06.00 atau lebih. Hectic bersama-sama di pagi hari – mulai dari sarapan, berebut minta kuncir atau kepang rambut pada paman kami, juga adu cepat dalam meminum susu sapi setelah sarapan. Di usia-usia itu pula, aku dan dia sering melakukan hal konyol seperti menyanyi di atas kasur dengan lagak seorang finalis Akademi Fantasi Indosiar (AFI), bergaya peran seperti Sherina dan Sadam, dll. Di jenjang SMP, aku dan dia sempat berangkat sekolah bersama selama satu tahun. Kali ini kami diantar oleh papa menggunakan mobil. Lalu pulang menggunakan angkutan umum, dilanjutkan dengan berjalan kaki dari Damar hingga rumah. Terkadang jika angkutan umum mengikuti demo, kami harus berjalan kaki berkilo-kilometer. Sedangkan di SMA, kami tidak sempat bersekolah bersama karena dia mengikuti program akselerasi.

Dan akhirnya kebersamaan kami terhenti di 2010. Waktu-waktunya banyak dihabiskan di Bandung. Bahkan terkadang waktu liburannya tidak ia maksimalkan di Semarang demi mengurus organisasi yang sedang ia geluti. Begitu seterusnya hingga 2014. Akhir 2014 hingga kini – Februari 2015 – ia disibukkan dengan pekerjaannya di Bandung dan sekitarnya. Dan tunggu saja hingga saatnya ia menikah nanti, saat dimana dia benar-benar resmi lepas dari rumah orang tua.

Flashback sedari kami kecil – dimana waktu bersama kami sangat melimpah – hingga akhirnya semakin lama waktu untuk kami bersama semakin sedikit, sedikit, sedikit, sangat sedikit, hingga lebih kecil dari itu, sering membuat derai air mata semakin deras.

2010 adalah awal dari ini semua. Juga awal dari perubahan pola pikirnya, serta perubahan-perubahan baik lainnya yang dia – dan aku – rasakan serta lakukan hingga kini. Namun tak jarang aku mengandai-andai. Andai dia tetap berkuliah di Undip, mungkin dia tidak akan terfikir untuk kerja di luar kota. Andai ini, andai itu.

Hingga saat tadi malam – Rabu, 25 Februari 2015 – ia berangkat ke Bandung untuk kesekian kalinya, aku tetap meneteskan air mata, untuk kesekian kalinya pula. Tetesan yang kesekian kali untuknya. Untuknya, Anggita Cremonandra Elfani.

Semarang, 25 Februari 2015

About Me