Tuesday, July 30, 2013

Waktu Aku Teringat Dia



Namaku Renagna Gafilonada, atau sering dipanggil Agna. Saat ini aku adalah mahasiswi semester 3. Kemarin, saat aku sedang melamun, aku teringat tentang seseorang. Namanya Ataldi Haggany, atau sering dipanggil Aldi. Dia bukan orang yang spesial dalam hidupku. Namun setiap aku teringat tentang kami berdua, aku tersenyum dengan sendirinya.

Aku mengetahui Aldi saat aku duduk di bangku kelas 2 SD. Aku disekolahkan di salah satu sekolah swasta di kotaku. Waktu itu pamanku yang saat itu masih lajang, sedang mencari kerja. Entah karena ditawari oleh ibuku atau bukan, akhirnya paman bekerja sebagai supir antarjemput siswa di sekolahku. Ya, seperti yang aku katakan tadi, saat itu aku duduk di kelas 2. Di sekolah tersebut, siswa kelas 2 masuk pukul 9 pagi. Karena tidak ada yang mengantarkanku ke sekolah, akhirnya aku dititipkan pada pamanku.

Setiap penjemputan, aku lah siswa yang selalu dijemput pertama oleh pamanku. Maka otomatis aku menempati kursi paling depan. Setelah itu pamanku menuju ke rumah siswa selanjutnya, letaknya sekitar 7 kilometer dari rumahku. Pertama kali penjemputan, paman sempat kebingungan, tersasar kesana-kesini. Maklum, karena begitu banyak gang kecil di daerah tersebut.

Akhrinya kami pun sampai di depan rumahnya. Rumahnya, bisa dibilang kecil. Begitu pula dengan halamannya. Di halaman yang tidak luas tersebut, terdapat seorang ibu yang sedang menyiram tanaman. Dari dalam rumah, keluar lah dua anak kecil. Keduanya perempuan. Aku mengiranya kedua anak tersebut adalah adik dari siswa yang sedang kutunggu, dan ibu yang menyiram tanaman adalah ibunya.

Tak lama kemudian, keluar lah siswa yang kami tunggu. Ternyata dia adalah seorang laki-laki. Kulihat dia. Hanya dengan pandangan biasa. Tak ada yang spesial. Tak ada ekspresi apapun yang keluar dari mukaku. Tapi siapa yang menyangka, bahwa ternyata anak laki-laki tersebut lah yang kini mampu membuatku tersenyum setiap aku mengingatnya. Ya, anak laki-laki tersebut adalah Ataldi Haggany.

Dari situ aku mengetahuinya. Sekedar mengetahui, belum mengenalnya. Aku bahkan baru mengetahui bahwa dia sekolah di sekolah yang sama denganku. Setiap harinya aku dan dia berangkat ke sekolah bersama. Namun tak ada percakapan apapun di antara kami.

Hingga akhirnya kami berdua naik kelas tiga. Aku satu kelas dengannya. Disinilah aku mengenalnya, dan dia mengenalku. Sejauh ini, tak ada yang spesial bagiku. Hingga akhirnya tiba pada suatu hari. Di hari tersebut, aku iseng mengintip kelas sebelah. Dari luar kelas, aku mengikuti gerakan yang dipandu oleh gurunya. Tiba-tiba dari arah kiri ada anak yang memanggilku “Mumun!!”. Aku pun terkaget, dan baru menyadari bahwa gerakan yang aku ikuti tadi menyerupai gaya pocong. Aku langsung mengejar anak yang mengejekku tadi. Yang ternyata adalah Ataldi Haggany.

Sejak saat itu aku dan Aldi saling berkejaran. Wajarnya anak SD yang saling berkejaran, akhirnya timbul rasa saling suka. Namun yang berbeda dalam kisah ini, bukan rasa saling suka yang timbul, melainkan cinta yang bertepuk sebelah tangan. Dan disini, aku lah yang memiliki rasa suka. Sungguh menyedihkan.

Begitu cepat gosip tersebut tersebar ke semua anak kelas tiga. Rasanya aku ingin cepat-cepat naik kelas, dan tidak satu kelas dengannya. Karena hanya rasa malu, gerogi, jaim dan gengsi bila aku satu kelas dengannya.

Suatu hari aku sedang berjalan mengelilingi kompleksku. Kulihat ada rumah yang sedang dalam proses pembangunan. Jaraknya enam rumah dari rumahku. Cukup dekat. Kemudian aku bertanya pada salah satu tukang, “Rumah siapa itu pak?”. Disebutkannya nama pemilik rumah tersebut, dan diberitahukan pula bahwa pemilik rumah itu memiliki tiga anak, yang pertama laki-laki dan dua lainnya perempuan. Kebetulan pula di sana ada anak perempuan yang tidak asing bagiku. Aku bercakap-cakap sebentar dengannya. Dan dari dia aku menjadi tahu bahwa anak pertama laki-laki yang dimaksud tukang tadi tidak lain dan tidak bukan adalah teman SD ku sendiri. Teman yang selama kelas tiga ini selalu mengejekku, dan akhirnya membuatku suka dengannya. Ya, dialah Aldi.

Esoknya di kelas, aku bertanya pada Aldi kebenaran tentang rumah barunya tersebut. Dia membenarkannya. Kami berdua pun menjadi bertetangga. Belum lama dia menempati rumah barunya, gosip mengenai aku yang suka dengannya sudah menyebar satu kompleks. Ternyata dia menceritakan pada anak-anak di kompleksku bahwa aku suka dengannya. Malu bukan main, karena akhirnya para orang tua di kompleks pun juga mengetahuinya.

Di kelas empat dan lima, aku dan Aldi tidak satu kelas. Kelas enam semester satu pun juga begitu. Namun karena adanya rolling kelas pada semester dua, aku dan Aldi pun akhirnya satu kelas. Satu kelas kembali. Setelah dua setengah tahun lamanya terpisah.

Lulus dari SD, aku memilih untuk melanjutkan sekolah di salah satu sekolah negeri di kotaku. Tak kusangka, Aldi pun juga sekolah di SMP ku. Di kelas tujuh, aku mendapat kelas 7-H, dan Aldi kelas 7-B. Namun karena ada rolling kelas di semester duanya, Aldi menjadi kelas 7-H. Ya, itu kelasku, 7-H. Tetapi ternyata aku juga berpindah kelas, menjadi kelas 7-B. Jadi jika dipikir-pikir, kelas kami berkebalikan. Andai salah satu di antara kami tidak berganti kelas, maka kami berdua akan satu kelas. Satu kelas kembali.

Kelas delapan dan sembilan, aku tidak satu kelas dengannya. Lulus SMP, aku memilih untuk sekolah di salah satu sekolah negeri ternama di kotaku. Tes masuk SMA tersebut bisa dikatakan cukup sulit. Namun ternyata, di malam pengumuman aku melihat namaku dalam daftar siswa yang diterima. Oh tunggu, tak hanya namaku yang kulihat di daftar itu. Tapi namanya juga aku lihat. Nama dia. Ataldi Haggany.

Ya, hari-hari awal masuk sekolah di SMA tersebut, diam-diam aku mencari batang hidung seorang Aldi. Namun hasilnya nihil. Ternyata dia diterima di salah satu sekolah semi-militer di Indonesia, dan melepas SMA ku. Kalau aku boleh berandai, andai dia tidak mendaftar, atau tidak diterima di sekolah semi-militernya tersebut, maka kami berdua akan berada dalam satu sekolah lagi. Ya, lagi.

Kelas sebelas, atau lebih tepatnya tahun 2011, aku bersama teman-teman mengadakan sebuah lomba tingkat provinsi. Tak terpikirkan olehku, bahwa lomba tersebut yang akhirnya kembali mempertemukanku dengan seseorang. Ataldi Haggany.

Namun yang namanya lomba, tidak akan berlangsung lama. Begitu pula dengan pertemuanku dengan Ataldi Haggany. Setelah lomba itu, kami berdua tidak bertemu kembali.

Lulus SMA, aku memilih untuk melanjutkan kuliah di salah satu Universitas negeri di kotaku. Melalui jalur ujian tulis, aku diterima di universitas tersebut. Saat daftar ulang, aku diminta mencari namaku dalam berlembar-lembar kertas dan menandatanganinya. Belum aku buka halaman kedua dari lembaran kertas tersebut, aku terhenti pada satu nama. Nama yang benar-benar membuatku kaget. Nama yang membuatku terdiam, hingga mengabaikan untuk mencari namaku. Nama itu, Ataldy Haggany.

Tak ada kabar, tak ada wacana bahwa dia akan mendaftar di universitas yang sama denganku. Di fakultas yang sama dengan fakultasku. Dan di jurusan yang sama dengan jurusanku. Menurut lembaran kertas yang kupegang tadi, Aldi diterima melalui jalur ujian mandiri. Walaupun jalur yang kami lalui berbeda, tapi akhirnya kami berdua diterima dalam satu jurusan.

Hari Selasa, hari pertama ospek atau pengenalan, diam-diam aku mencari batang hidung seorang Aldi. Kembali. Tak kusangka, aku lakukan kembali hal yang dulu pernah aku lakukan di hari pertama SMA. Di hari pertama ospek itu aku melihatnya. Ha, hatiku tertawa dan aku pun tersenyum. Hari berikutnya, aku tidak menemukannya. Malamnya, aku dan beberapa teman mengunjungi rumahnya. Satu langkah lagi menginjak pekarangannya, pintu rumah tiba-tiba terbuka. Keluarlah seorang laki-laki tinggi sambil membawa koper. Ya, itu Aldi.

Firasatku tidak enak saat melihat koper yang dia bawa. Kemudian aku menyapanya dan menanyai alasan ketidak-hadirannya di kampus hari itu. Dia pun menjawab. Dan ternyata firasatku benar. Aldi melepas studinya di universitasku. Dia diterima di salah satu akademi penerbangan di Indonesia.

Aku berpamit padanya. Memasang wajah yang santai, namun dengan hati yang berkecamuk. Aku berandai. Berandai kembali. Andai, Aldi tidak mendaftar, atau tidak diterima di akademi penerbangan tersebut, maka aku dan Aldi akan kuliah di universitas yang sama, fakultas yang sama, dan jurusan yang sama. Hingga saat ini, hingga penulisan ini, aku belum bertemu dengannya. Walaupun kami adalah tetangga.

Yang membuatku tersenyum, adalah kenyataan dimana aku dan Aldi selalu hampir bersama. Hampir. Hanya sebatas hampir.


Anggaina Elfandora C.


About Me