Tuesday, October 27, 2015

Rumah Pelangi Untuk Dani


Pagi ini pagi yang cerah. Kulangkahkan kaki ini menuju sekolah baruku. Dengan baju putih nan bersih. Lengkap dengan tas dan sepatu baru. Inilah saatnya aku membuka lembaran baru.

Kutelusuri jalan raya dengan senangnya. Wajahku bak matahari yang cerah di pagi itu. Namun tiba-tiba kakiku tersentak. Tubuhku pun serasa ingin jatuh. Sebuah pemandangan mengagetkanku. Atau lebih tepatnya membuatku iba. Kulihat tempat pembuangan sampah di depan pasar. Ada seorang ibu sambil menggendong anaknya yang masih balita, di dekat tempat sampah itu. Agaknya ibu tersebut adalah seorang pemulung. Tak jauh dari sang ibu, ada sesosok anak, sekitar umur 7 tahun, dengan berbalut seragam merah putih. Oh, bukan putih, melainkan putih kusam. Dengan sepatu yang berlubang, hingga aku dapat melihat jari kakinya. Serta buku tulis yang sudah lusuh. Dan dengan topi merah memudar di kepalanya. Sepertinya dia sedang membantu ibunya bekerja, sebelum berangkat sekolah. Aku pun terenyuh.

Hari berikutnya, aku melihatnya lagi. Di tempat dan waktu yang sama. Dengan pakaian yang sama pula. Kali ini dengan nasi bungkus di hadapannya. Aku semakin bangga dengan anak tersebut, karena sepertinya dia bersedia membantu ibunya setiap hari.

Hari berikutnya. Aku yakin akan melihatnya lagi. Ya, memang benar aku melihatnya lagi. Tetapi, ada yang aneh. Seragamnya. Mengapa tetap merah putih? Dengan topi yang sama pula. Aku pun mengabaikannya. Hingga akhirnya tak dapat kusingkirkan dari fikiranku, setelah satu minggu aku melihatnya dengan seragam yang sama. Seragam merah putih.

Aku menghampirinya, dengan maksud ingin berbincang dengan sang ibu. Beliau menyambut kedatanganku dengan hangat. Oh, namanya ibu Suminah. Dan anaknya yang memakai seragam itu, Dani namanya.

Kalimat demi kalimat pun aku ucapkan. Hingga akhirnya aku bertanya dimana Dani bersekolah. Namun jawabannya membuatku kaget. “Dani tidak sekolah, mbak. Itu seragamnya cuma buat memenuhi keinginannya aja, biar terlihat seperti anak sekolah yang lain katanya. Uang beli seragamnya aja hasil jerih payah ngamennya dia. Kalau sepatu, tas, dan bukunya itu dia ambil dari tempat sampah ini”.

Aku hanya terdiam mendengar jawaban itu. Tak terasa air mataku pun menetes. Tetes demi tetes mulai membasahi pipiku. Dengan cepat aku mengambil tisu dan kuseka air mata ini sebelum bu Suminah melihatnya. Aku pun segera berpamitan pada beliau.

Aku terus memikirkan hal itu. Hingga tak terasa air mata ini telah menghujani pipiku dengan derasnya. Sungguh ironis. Ketika banyak pelajar yang selalu membolos, sedangkan di sisi lain terdapat seorang bocah yang dengan begitu semangatnya bersekolah, namun hanya mampu membeli satu setel seragam.

Esoknya, aku berangkat sekolah sambil membawa beberapa setel seragam bekas milik adikku, sepatu bekas, tas sekolah serta buku pelajaran, dan 3 bungkus nasi. Begitu aku berikan pada Dani, ia nampak sangat gembira. Hati ini rasanya begitu sejuk saat melihat malaikat kecil itu tertawa bahagia.

Ya, namun hanya itu yang bisa kuberikan. Aku berharap bisa membantunya lebih. Seperti membiayai sekolah, misalnya. Ha, tapi memangnya siapa aku, sudah sok bergaya membiayai sekolah orang lain.

Detik, menit, dan jam kulewati. Hingga akhirnya aku mendapatkan langkah yang sepertinya tepat. Agar Dani, dan juga anak-anak jalan lainnya, dapat belajar dan mendapatkan ilmu layaknya anak sekolah, terfikirkan olehku untuk membuat suatu tempat belajar untuk mereka. Tempat yang nyaman dan lengkap dengan buku-buku dan peralatan tulis, dengan aku dan teman-teman sebagai pengajar mereka. Tempat yang dapat mengantar Dani, dan anak-anak jalanan lainnya, dalam meraih cita-citanya. Cita-cita yang setinggi langit, secerah matahari pagi, dan kaya warna akan pelangi. Rumah Pelangi.


Semarang, 1 November 2013

Anggaina Elfandora C.

No comments:

Post a Comment

About Me