Sunday, September 20, 2015

Siapakah Pahlawan?


Siapa itu pahlawan? Pahlawan adalah orang yang berani untuk mengorbankan jiwa dan raga dalam membela kebenaran. Pahlawan adalah sosok legendaris yang kerap dijadikan tauladan bagi suatu bangsa. Tindakannya yang mulia memberikan manfaat bagi kepentingan orang banyak, serta memberikan pengaruh positif terhadap tingkah laku masyarakat. Dan jasanya yang tulus akan selalu dikenang oleh bangsa.

Sekiranya jawaban itu lah yang akan muncul ketika bangsa ini, termasuk kita, ditanya “Siapa itu pahlawan?”. Beribu kata tentang pahlawan dapat terucap dari mulut kita yang menjawabnya. Daftar nama pahlawan pun dapat saja mengalir mengikutinya. Jasanya, masa perjuangannya, hingga akhir hidupnya, mudah kita dalam menceritakannya. Pelajaran sejarah yang kita dapatkan semenjak duduk di bangku sekolah dasar hingga bangku sekolah menengah ke atas yang menuntun kita dalam mengenal pahlawan-pahlawan bangsa. Dengan harapan bahwa jiwa-jiwa pahlawan akan dapat tumbuh di dalam diri para generasi penerus bangsa.

Namun apa yang ada mungkin tidak seperti yang  diharapkan. Pelajaran sejarah sekiranya hanya mampu mengenalkan dan menceritakan masa-masa pahlawan, tanpa meresapkan jiwa-jiwa pahlawan dalam diri bangsa. Buku sejarah hanya dipandang oleh para pelajar layaknya buku tebal yang digunakan untuk sekedar mendapatkan nilai. Bahkan tak jarang pengetahuan sejarah hanya dianggap sebagai beban. Itulah yang terjadi, sekedar menghafal tanpa pendalaman maknanya.

Padahal, pendalaman makna itu akan membuka jiwa kepahlawanan dari diri bangsa. Siapa bilang orang-orang biasa yang hidup di jaman ini bukanlah pahlawan? Pahlawan tidak selalu adalah orang-orang yang maju berperang, atau yang memperjuangkan hidup matinya di medan perang. Sosok pahlawan ada dalam diri seorang pemuda, guru, ayah, ibu, dan yang lainnya. Pahlawan sebenarnya ada di dalam diri setiap orang. Hanya tinggal bagaimana orang tersebut dapat menumbuhkan dan mengelola jiwa kepahlawanan itu dengan baik. Setiap orang perlu untuk menumbuhkan jiwa pahlawannya. Setidaknya terbenihi dengan resapan cerita kepahlawanan para pahlawan jaman dulu.


Jika mengingat Ki Hajar Dewantoro, kita akan teringat akan perjuangannya dalam  bidang pendidikan, yang hingga pernah diasingkan di Belanda. Beliau meninggalkan pesan yang kini dapat dilihat di Museum Sumpah Pemuda, Jakarta, yang berbunyi, “Aku hanya orang biasa yang bekerja untuk bangsa Indonesia dengan cara Indonesia. Namun, yang penting untuk kalian yakini, sesaat pun aku tak pernah mengkhianati tanah air dan bangsaku, lahir maupun batin aku tak pernah mengkorup kekayaan Negara”. Adalah pesan yang sangat patut dijadikan tauladan bagi bangsa ini. Apalagi mengingat masih rendahnya kesadaran bangsa ini akan korupsi.

Mendengar nama Kartini juga akan mengingatkan kita pada jasa Kartini dalam memperjuangkan hak-hak wanita. Gagasannya mampu menggerakkan dan mengilhami perjuangan wanita dari kebodohan yang tidak disadari di masa lalu. Pengorbanannya yang tulus disertai keberaniannya, membuat beliau mampu menggugah kaumnya dari belenggu diskriminasi. Melalui surat-surat yang beliau tulis, yang kini telah dibukukan dalam “Habis Gelap Terbitlah Terang”, para wanita dapat termotivasi untuk terus memperjuangkan hak-haknya. Perjuangan Kartini tersebut yang kini membuat kaum wanita di negeri ini dapat menikmati apa yang disebut dengan persamaan hak.

Bangsa Indonesia juga tidak akan pernah lupa dengan “350 tahun”. Angka tersebut bukanlah waktu yang sebentar bagi bangsa ini untuk dikuasai oleh para penjajah. Harapan pahlawan saat itu hanya satu: Merdeka. Sebuah kebebasan. Kebebasan untuk diri mereka sendiri. Untuk anak cucu mereka. Dan yang paling penting untuk generasi masa depan.

Pahlawan bukanlah orang suci yang diturunkan dari langit ke bumi untuk menyelesaikan persoalan manusia dengan mukjizat. Pahlawan adalah orang biasa yang melakukan pekerjaan-pekerjaan besar, dalam sunyi yang panjang, sampai waktu mereka habis. Mereka tidak harus tercatat dalam buku sejarah atau dimakamkan di taman makam pahlawan. Mereka juga melakukan kesalahan dan dosa. Mereka adalah manusia biasa yang berusaha memaksimalkan seluruh kemampuan untuk memberikan yang terbaik bagi orang-orang di sekelilingnya. Mereka merakit kerja-kerja kecil menjadi sebuah gunung, karya kepahlawanan adalah tabung jiwa dalam masa yang lama.”, kata Anis Matta dalam bukunya, Mencari Pahlawan Indonesia.

Agaknya justru bukan hanya sebatas peringatan, tapi lebih kepada instrospeksi diri, sudahkah kita menjadi pahlawan? Sudahkah kita mempersembahkan karya terbaik kita untuk tanah merah putih ini? Apa yang sudah kita lakukan untuk Negara ini? Negara ini butuh pahlawan, bukan pemuda yang hanya memangku dagunya.

Soekarno pernah berkata, “Beri aku seribu orang, dan dengan mereka aku akan menggerakkan Gunung Semeru. Beri aku sepuluh pemuda yang membara cintanya kepada Tanah Air, dan aku akan mengguncang dunia”.

Perkataan Soekarno tersebut menyadarkan kita bahwa bangsa ini membutuhkan pemuda-pemuda yang memiliki keberanian dan semangat yang tinggi untuk membawa perubahan bagi bangsa, layaknya seorang pahlawan.

Pemuda memiliki potensi tinggi dalam membuat perubahan. Karena pemuda masih memiliki kekuatan yang lebih pada fisik, intelektual, dan emosional. Mempunyai semangat yang tinggi dan menggelora. Mempunyai kemauan yang kuat dan meledak-ledak, dalam membuat perubahan dan pembaharuan.


Maka kini pertanyaannya: Apa yang akan, atau sudah kau berikan pada bangsa Indonesia, di usia mudamu ini? Beranikah kau menjadi pahlawan masa kini?

Semarang, Oktober 2014
Anggaina Elfandora C.

Senyuman Mimpi Yang Sirna


Senyuman. Itulah yang kali pertama muncul di bibirku saat kubuka mataku di suatu pagi.

Senyum itu tidak datang dengan sendirinya. Ia dibawa oleh sebuah mimpi yang menemaniku sedari mataku terpejam.


Ingin rasanya kubagikan detik-detik dalam mimpiku pada orang-orang yang selalu mendengarkan ceritaku. Namun sepertinya itu hanyalah khayalan bagiku. Khayalan bagiku untuk menceritakan pada mereka tentang mimpiku.

Untuk hal tentang mimpi yang membuatku tersenyum itu, bukan padaku mereka berpihak. Bukan aku. Melainkan salah satu di antara kami.

Karenanya, aku tidak mungkin membagikan senyum pagi ku itu. Kusimpan sendiri senyumku itu. Kumasukkan dan kukunci rapat-rapat. Sebab aku takut, salah satu di antara kami akan terluka, jika mereka mengetahui mimpi dan senyumku pagi itu.

Sedih rasanya, ketika kau memiliki cerita yang membuatmu tersenyum, tetapi kau tidak dapat membagikannya dengan orang-orang yang selama ini mendengarkan cerita hatimu. Mungkin, ini bukan sekedar sedih. Ini lebih dari sekedar sedih.

Terima kasih untuk mimpi yang telah sempat membuatku tersenyum, meski hanya untuk hitungan jam. Terima kasih untuk senyuman yang telah kau bawa, Mimpi… Walau kini senyuman itu harus sirna…

Semarang, 19 September 2015
Anggaina Elfandora C.


Dua Kali


Dua kali terjadi dalam hidupku. Dua kali kesalahanku dalam mengagumi seseorang. Meskipun mereka datang di waktu yang berbeda, namun mereka memiliki kemiripan di hampir semua hal.

Sama-sama tak ada yang spesial saat kukenal mereka. Hingga akhirnya waktu berjalan beberapa bulan, aku melihat ada yang spesial di diri mereka. Itulah yang tak lain membuatku mengagumi mereka, setidaknya sampai aku mengetahui kesalahan mereka. Kesalahan yang cukup sama. Ah, itu bukan kesalahan mereka seutuhnya. Lebih tepatnya itu adalah sesuatu yang mereka lakukan, yang ku perspektifkan ke dalam ekspektasiku, sehingga menjadi suatu kesalahan di mataku.

Sering aku renungkan, mengapa Sang Pemberi Cinta menghadirkan kembali padaku rasa kagum yang salah untuk kedua kalinya?

Mungkin Dia ingin memberitahu padaku, untuk tidak berharap terlalu tinggi pada orang-orang yang hanya sekedar kukagumi, pada orang yang bukan siapa-siapa bagiku, yang bahkan mereka tidak memikirkanku. Atau mungkin ini adalah cambukan bagiku untuk kedua kalinya, agar aku berhenti dari terlalu mengagumi seseorang. Mungkin ini juga suatu peringatan bagiku, untuk selalu mengagumi dan cinta pada-Nya. Sehingga nanti dari-Nya, aku diberikan seseorang yang sesuai dengan ekspektasi tinggiku.

Kuharap kesalahan ini tidak terulang untuk ketiga kalinya. Semoga.


Semarang, 19 September 2015

Anggaina Elfandora C.

About Me