Hidupku terasa sama saja. Setidaknya hingga tahun
2010.
2010. Masih kuingat jelas bagaimana sikapnya saat mengetahui
bahwa ia lolos seleksi memasuki perguruan tinggi negeri, tak main-main yang
didapatnya: FTI ITB. Namun perasaan bimbang sempat menyelimutinya. Bagaimana tidak?
Seleksi di tahun 2010 tersebut tak lebih dari sebuah ajang coba-coba baginya,
karena saat itu ia sudah resmi menjadi mahasiswa Teknik Kimia Undip selama satu
tahun. Teman, sahabat, serta satu tahun perjalanan kuliahnya menjadi beberapa faktor
yang membuatnya enggan untuk berpindah dari kampus tersebut. Selama beberapa
hari ia mencoba untuk berfikir mana pilihan yang harus ia ambil. Tinggalkan
yang lama? Sayang sepertinya perjuangannya selama satu tahun di Undip, seakan
hanya sia-sia belaka jerih payahnya satu tahun tersebut. Lupakan yang baru? Agaknya
sayang jika membuang kesempatan indah untuk berguru di Institut Teknologi Bandung.
Dalam hari dan doaku, mulutku senantiasa mengucap
syukur karena telah memberinya kesempatan tersebut, dan ikut menyemangatinya
agar mengambil kesempatan itu. Namun ternyata tidak dengan batinku. Terisak
dalam batin, dengan lirih hati kecilku berkata, “Tolong jangan pergi jauh, mbak…”.
Ia pun telah mengambil keputusan: mengambil
kesempatan tersebut. Segala berkas yang dibutuhkan untuk pendaftaran ulang
segera diurus olehnya. Persiapan-persiapan lain seperti tiket kereta,
penginapan, serta oleh-oleh tak lupa dipikirkan pula oleh kedua orang tuaku. Hingga
saatnya tiba hari pemberangkatan itu. Tepat ba’da Isya, dia bersama orang tua
kami berangkat menuju stasiun, meninggalkanku sendiri yang sibuk menyeka air di
pipi. Sekitar setengah jam kemudian, aku mendapat telfon dari orang tua. Mereka
memintaku untuk mencari kunci almari pakaian di dalam kamar, untuk kemudian mengambil
sesuatu. Sesuatu yang sangat berharga untuk malam itu, bagi mereka yang sedang
dalam perjalanan menuju stasiun. Tiket kereta api.
Aku kemudian bergerak cepat membuka pintu kamar
orang tuaku, mencari kunci almari yang dimaksud. Namun di tengah kepanikanku
tiba-tiba aku tersenyum. Agaknya aku senang dengan kejadian ini. Sempat aku
berfikir mantap, bahwa ini adalah pertanda untuknya agar tidak pergi ke
Bandung. Lalu sedikit kuperlambat pencariannya – dengan sikap yang kurang
serius.
Namun tetaplah ia pergi ke Bandung malam itu. Segera
setelah tiket ditemukan, pamanku melaju kencang menuju stasiun, sedangkan papa
mencoba melobby pihak stasiun untuk
menunda keberangkatan kereta api, barang semenit dua menit.
Itulah sebuah awal dari perjalanannya. Dan sebuah
awal untuk tangisanku hingga hari ini.
Pertengahan tahun 2010 itu aku resmi menjadi siswa
kelas sebelas di SMA 3 Semarang. Masih hangat-hangatnya kepergiannya ke kota
kembang membuat teman-teman baruku harus sering menghiburku untuk tidak
menangis. Ada salah satu di antara temanku berkata bahwa dia (temanku) juga
pernah mengalami hal yang sama ketika ditinggal oleh papanya. Temanku tersebut
menambahkan dengan yakin, bahwa beberapa minggu kemudian aku akan terbiasa
dengan perantauannya dan tak perlu susah-susah mengeluarkan air mata lagi. Namun
sepertinya pernyataan temanku tersebut tidak berlaku bagiku. Karena air masih
menderai dengan derasnya dari mataku, hingga detik ini.
Tidak terlalu kuingat berapa bulan sekali – atau bahkan
berapa minggu sekali – dia pulang ke Semarang. Yang jelas kuingat adalah setiap
kedatangannya, kami selalu saling bercerita banyak hal, mulai dari pembicaraan
serius hingga yang sangat ringan atau bahkan tidak penting. Dan di setiap
kepergiannya kembali menuju Bandung, air mataku mulai menilik untuk kemudian
menetes hingga akhirnya deras. Hingga detik ini? Tentu.
Tahun 2011 aku sempat menginap disana, di kamar
kosnya. Walaupun 2/3 waktuku hanya dihabiskan di dalam kamarnya dengan
bertemankan DVD film, setidaknya 1/3 sisanya dapat kuhabiskan dengan berbelanja
di beberapa tempat dengannya serta mengunjungi kampusnya.
Tahun 2012 adalah tahun dimana aku harus lebih giat
dalam belajar. Di tahun tersebut aku akan menjalani ujian nasional serta ujian
SNMPTN. Targetku tidak lain adalah untuk berkuliah di kampusnya di kota
kembang. Menjadi suatu kebanggaan jika dapat berkuliah di kampus ternama
tersebut. Tapi tujuan utamaku bukan itu, melainkan agar dapat bertemu dan
bersama dengannya lagi. Masih kuingat bagaimana sms nya kepadaku untuk menyemangatiku,
untuk mendoakanku, dan untuk mengingatkanku agar selalu ingat pada-Nya. Masih kuingat
pula bagaimana kuatnya motivasi utama tadi mendorong belajarku. Mulai dari
pikiran kecil seperti kamar kos yang akan kutempati. Berfikir bahwa aku akan
satu kamar dengannya, bahwa aku tak perlu repot-repot merapikan kamar jika satu
kamar dengannya, bahwa aku akan berlatih memanage
uang dengannya, bahwa, bahwa, dan bahwa lainnya.
Hingga akhirnya tiba saat pengumuman seleksi SNMPTN:
aku diterima untuk pilihan kedua, di Teknik Industri Undip. Tak peduli aku
dapat lolos pilihan pertama dalam tryout SNMPTN, tetap tidak mengubah kenyataan
bahwa aku adalah mahasiswa TI Undip. Kata-kata semangat serta ucapan selamat
yang diberikan olehnya agaknya tidak terlalu berhasil membuatku terhibur.
Tahun berganti tahun. 2012, 2013, 2014. Semakin dapat
kulihat perbedaan antara lingkungan kampusnya, dan lingkungan kampusku. Sedih masih
menyelimutiku.
Tidak diterimanya aku di kampusnya berartikan bahwa
aku akan jarang bertemu dengannya, seperti pada tahun 2010 dan 2011. Hanya bertemu
sesekali, saat dia pulang untuk kontrol behel, atau saat hari besar dan
beberapa tanggal merah. Itu berarti waktuku untuk bersama dengannya hanya
sedikit, sebelum dia menikah nantinya.
Hampir di setiap detik di 1994 hingga 2010, aku dan
dia selalu menghabiskan waktu bersama. Berangkat ke sekolah – waktu itu aku TK
besar, dan dia kelas dua SD – bersama dengan tante menaiki angkutan umum
mengejar jam masuk kami pukul 09.00. Satu tahun kemudian, aku dan dia mulai
berangkat bersama dengan mama, cenglu
menaiki sepeda motor di setiap pagi pukul 06.00 atau lebih. Hectic bersama-sama di pagi hari – mulai
dari sarapan, berebut minta kuncir atau kepang rambut pada paman kami, juga adu
cepat dalam meminum susu sapi setelah sarapan. Di usia-usia itu pula, aku dan
dia sering melakukan hal konyol seperti menyanyi di atas kasur dengan lagak
seorang finalis Akademi Fantasi Indosiar (AFI), bergaya peran seperti Sherina
dan Sadam, dll. Di jenjang SMP, aku dan dia sempat berangkat sekolah bersama
selama satu tahun. Kali ini kami diantar oleh papa menggunakan mobil. Lalu pulang
menggunakan angkutan umum, dilanjutkan dengan berjalan kaki dari Damar hingga
rumah. Terkadang jika angkutan umum mengikuti demo, kami harus berjalan kaki
berkilo-kilometer. Sedangkan di SMA, kami tidak sempat bersekolah bersama
karena dia mengikuti program akselerasi.
Dan akhirnya kebersamaan kami terhenti di 2010. Waktu-waktunya
banyak dihabiskan di Bandung. Bahkan terkadang waktu liburannya tidak ia
maksimalkan di Semarang demi mengurus organisasi yang sedang ia geluti. Begitu
seterusnya hingga 2014. Akhir 2014 hingga kini – Februari 2015 – ia disibukkan
dengan pekerjaannya di Bandung dan sekitarnya. Dan tunggu saja hingga saatnya
ia menikah nanti, saat dimana dia benar-benar resmi lepas dari rumah orang tua.
Flashback sedari kami kecil – dimana waktu bersama kami
sangat melimpah – hingga akhirnya semakin lama waktu untuk kami bersama semakin
sedikit, sedikit, sedikit, sangat sedikit, hingga lebih kecil dari itu, sering
membuat derai air mata semakin deras.
2010 adalah awal dari ini semua. Juga awal dari
perubahan pola pikirnya, serta perubahan-perubahan baik lainnya yang dia – dan aku
– rasakan serta lakukan hingga kini. Namun tak jarang aku mengandai-andai. Andai
dia tetap berkuliah di Undip, mungkin dia tidak akan terfikir untuk kerja di
luar kota. Andai ini, andai itu.
Hingga saat tadi malam – Rabu, 25 Februari 2015 – ia
berangkat ke Bandung untuk kesekian kalinya, aku tetap meneteskan air mata,
untuk kesekian kalinya pula. Tetesan yang kesekian kali untuknya. Untuknya,
Anggita Cremonandra Elfani.
Semarang, 25 Februari 2015