Pagi
ini pagi yang cerah. Kulangkahkan kaki ini menuju sekolah baruku. Dengan baju
putih nan bersih. Lengkap dengan tas dan sepatu baru. Inilah saatnya aku
membuka lembaran baru.
Kutelusuri
jalan raya dengan senangnya. Wajahku bak matahari yang cerah di pagi itu. Namun
tiba-tiba kakiku tersentak. Tubuhku pun serasa ingin jatuh. Sebuah pemandangan
mengagetkanku. Atau lebih tepatnya membuatku iba. Kulihat tempat pembuangan
sampah di depan pasar. Ada seorang ibu sambil menggendong anaknya yang masih
balita, di dekat tempat sampah itu. Agaknya ibu tersebut adalah seorang
pemulung. Tak jauh dari sang ibu, ada sesosok anak, sekitar umur 7 tahun,
dengan berbalut seragam merah putih. Oh, bukan putih, melainkan putih kusam.
Dengan sepatu yang berlubang, hingga aku dapat melihat jari kakinya. Serta buku
tulis yang sudah lusuh. Dan dengan topi merah memudar di kepalanya. Sepertinya
dia sedang membantu ibunya bekerja, sebelum berangkat sekolah. Aku pun
terenyuh.
Hari
berikutnya, aku melihatnya lagi. Di tempat dan waktu yang sama. Dengan pakaian
yang sama pula. Kali ini dengan nasi bungkus di hadapannya. Aku semakin bangga
dengan anak tersebut, karena sepertinya dia bersedia membantu ibunya setiap
hari.
Hari
berikutnya. Aku yakin akan melihatnya lagi. Ya, memang benar aku melihatnya
lagi. Tetapi, ada yang aneh. Seragamnya. Mengapa tetap merah putih? Dengan topi
yang sama pula. Aku pun mengabaikannya. Hingga akhirnya tak dapat kusingkirkan
dari fikiranku, setelah satu minggu aku melihatnya dengan seragam yang sama.
Seragam merah putih.
Aku
menghampirinya, dengan maksud ingin berbincang dengan sang ibu. Beliau
menyambut kedatanganku dengan hangat. Oh, namanya ibu Suminah. Dan anaknya yang
memakai seragam itu, Dani namanya.
Kalimat
demi kalimat pun aku ucapkan. Hingga akhirnya aku bertanya dimana Dani
bersekolah. Namun jawabannya membuatku kaget. “Dani tidak sekolah, mbak. Itu
seragamnya cuma buat memenuhi keinginannya aja, biar terlihat seperti anak
sekolah yang lain katanya. Uang beli seragamnya aja hasil jerih payah ngamennya
dia. Kalau sepatu, tas, dan bukunya itu dia ambil dari tempat sampah ini”.
Aku
hanya terdiam mendengar jawaban itu. Tak terasa air mataku pun menetes. Tetes
demi tetes mulai membasahi pipiku. Dengan cepat aku mengambil tisu dan kuseka
air mata ini sebelum bu Suminah melihatnya. Aku pun segera berpamitan pada
beliau.
Aku
terus memikirkan hal itu. Hingga tak terasa air mata ini telah menghujani
pipiku dengan derasnya. Sungguh ironis. Ketika banyak pelajar yang selalu
membolos, sedangkan di sisi lain terdapat seorang bocah yang dengan begitu
semangatnya bersekolah, namun hanya mampu membeli satu setel seragam.
Esoknya,
aku berangkat sekolah sambil membawa beberapa setel seragam bekas milik adikku,
sepatu bekas, tas sekolah serta buku pelajaran, dan 3 bungkus nasi. Begitu aku
berikan pada Dani, ia nampak sangat gembira. Hati ini rasanya begitu sejuk saat
melihat malaikat kecil itu tertawa bahagia.
Ya,
namun hanya itu yang bisa kuberikan. Aku berharap bisa membantunya lebih.
Seperti membiayai sekolah, misalnya. Ha, tapi memangnya siapa aku, sudah sok
bergaya membiayai sekolah orang lain.
Detik,
menit, dan jam kulewati. Hingga akhirnya aku mendapatkan langkah yang
sepertinya tepat. Agar Dani, dan juga anak-anak jalan lainnya, dapat belajar
dan mendapatkan ilmu layaknya anak sekolah, terfikirkan olehku untuk membuat
suatu tempat belajar untuk mereka. Tempat yang nyaman dan lengkap dengan
buku-buku dan peralatan tulis, dengan aku dan teman-teman sebagai pengajar
mereka. Tempat yang dapat mengantar Dani, dan anak-anak jalanan lainnya, dalam
meraih cita-citanya. Cita-cita yang setinggi langit, secerah matahari pagi, dan
kaya warna akan pelangi. Rumah Pelangi.
Semarang,
1 November 2013
Anggaina
Elfandora C.