Jadi kakak itu enak. Dia bisa
“memerintah” atau “menjajah” sang adik sesuka dirinya.
Dengan mudahnya, dia bisa menyuruh adik mengikuti suasana hatinya. Apa daya
sang adik tidak bisa menolak.
Ketika kakak sedang ingin mencari kesenangan,
dia mengganggu atau menjahili adik. Ketika sedang badmood,
dia bisa melampiaskan kekesalan hatinya pada adik,
dengan cara marah atau ketus.
Segala kehendak sang
kakak, seolah-olah wajib dituruti oleh
sang adik.
Namun ternyata disisi
lain...
Menjadi kakak itu tidak mudah. Dia harus bisa memberi contoh
yang baik untuk sang
adik. Dengan tanpa disadari,
adik akan mengikuti jejak
sang kakak, tanpa ada perintah.
Apa daya sang kakak harus mampu berjalan menembus celah kesuksesan.
Karena ketika kakak bersinar seperti bulan,
maka adik akan bertekad untuk dapat bersinar seperti matahari.
Namun ketika kakak hanya berjalan
di tempat, maka adik akan turut duduk diam.
Tidak ada aturan tertulis untuk hal tersebut,
tetapi itu sudah terpatri dengan sendirinya dalam ikatan kakak dan adik.
Dan aku pun mengalaminya.
Setiap hari aku dibully oleh kakakku, ya walaupun kini sudah tidak sering karena dia
sibuk kuliah di luar kota. Pem-bully-an
memang terjadi padaku hingga kini, namun tak se-ekstrim jaman kecilku dulu. Di
masa kecil, kakakku selalu jahil dan nakal padaku. Seringnya kenakalan tersebut
berupa fisik. Ya, kenakalannya memang sewajarnya anak kecil, jadi tidak
berbahaya. Aku hanya bisa diam dan menangis, dan tak ada keberanian untuk
membalasnya. Bahkan untuk mengadukan pada orang tuaku pun aku tidak berani. Aku
takut, jika kuadukan kakakku pada orang tua, kakakku marah padaku dan tidak mau
lagi bermain denganku. Jadilah pertengkaran kami tersebut merupakan
“pertengkaran satu arah”. Namun ada yang berbeda ketika kami berdua beranjak remaja,
atau lebih tepatnya ketika kami duduk di bangku SMP. Pertengkaran satu arah
berubah menjadi pertengkaran dua arah! Ya, aku sudah mulai berani untuk
melawannya, dan tak jarang pula aku mengadukannya pada orang tuaku. Pertengkaran
kami bukan hanya perlakuan fisik seperti saat kecil, tetapi juga adu mulut!
Jadilah tangan dan mulut kami mengeluarkan tenaga yang sia-sia hanya untuk
sebuah pertengkaran. Berbeda lagi dengan ketika usia kami mulai dewasa, atau
lebih tepatnya dimulai sekitar umur 17 tahun. Pertengkaran kami tidak terlalu
terfokus pada perlakuan fisik, melainkan pada adu mulut. Seringnya adu mulut
tersebut terjadi karena kami memiliki pendapat yang berbeda. Namun dalam
pertengkaran kali ini, tidak ada yang namanya pengaduan kepada orang tua. Tahu
mengapa? Ya, karena hal tersebut tidak penting. Orang tua tidak akan menentukan
siapa yang salah dan siapa yang benar dalam pertengkaran dua perempuan yang
sudah beranjak dewasa, bukan? Oh, ada yang perlu digaris bawahi disini. Ada
satu tindakan yang sering dilakukan kakakku terhadap aku, selain adu mulut.
Yaitu penggelitikan. Ini yang tidak bisa aku lawan hingga sekarang. Adu
penggelitikan pasti akan berujung pada kekalahan untukku.
Menyebalkan memang. Tetapi...
Aku harus berterimakasih pada kakakku. Berkat
dia, kini aku dapat berjalan menuju cahaya kesuksesan. Dari kecil aku selalu
mengikuti kakakku. Kakakku seperti kiblat bagiku. Kemana dia melangkah, maka
aku akan menyusulnya. Seperti pendidikanku. TK dan SD kami berdua sama. Ya,
tentu itu pilihan orang tua, bukan keinginan kami. Tetapi keputusan untuk
memilih sekolah selanjutnya adalah keputusan kami masing-masing. Dan ternyata,
SMP kami berdua sama. Apalagi kalau bukan karena mengikuti kakak? Lulus dari
SMP, kakakku memilih bersekolah di sekolah negeri ternama di kota kami.
Jaraknya jauh sekali, hampir mencapai 20 kilometer. Tak terbayang sedari dulu
untuk bersekolah di SMA tersebut. Selain jauh, banyak orang berkata bahwa
seleksi masuknya sangat sulit. Acuhlah pikiranku pada sekolah tersebut. Namun
semua berbeda ketika kakakku memilih SMA tersebut. Seketika aku menaruh
perhatianku pada sekolah itu. Aku mulai mencari tahu tentang sekolah itu. Dan
akhirnya aku pun menaruh impianku pada sekolah itu. Jadilah kini aku berhasil
menjadi alumni Sekolah Menengah Atas tersebut. Sekolah yang, seandainya kakakku
tidak menyentuhnya, aku pun tidak akan meliriknya. Dan kini, di tahun 2013 ini,
kakakku sedang berada di ITB untuk mengejar gelar Sarjananya. Sedangkan aku?
Aku berada di Undip. Berbeda? Memang beda. Tempat kami memang berbeda. Tetapi
“bahasan” kami berdua sama. Karena kami berdua adalah mahasiswi Teknik
Industri. Ya, berbeda tapi sama.
Terima kasih kakakku, Anggita Cremonandra
Elfani. Kamu adalah salah satu anugerah Allah yang tak ternilai harganya. Karna kau bukan sekedar "kakak". Andai
kakakku bukan kamu, aku tak tahu seperti apa aku jadinya.
Terima kasih untuk Allah. Yang telah
menurunkan malaikat kecil yang cantik pada tanggal 23 Agustus 1992. Terima
kasih, Allah. Yang masih memberikan nafas kehidupan padanya di tanggal 23
Agustus 2013 ini.
Selamat ulang tahun, kakakku...
Anggita Cremonandra Elfani |
Semarang, 23 Agustus 2013
Anggaina Elfandora C.